Tanya
:
Kenapa dhomir yang di gunakan lafdzul jalalah adalah huwa
(هو)?
Jawab :
Sebelum menjawab alasan kenapa dhomir yang digunakan adalah huwa
saya akan sedikit menerangkan tentang Lafadz Allah (الله).
Dalam
kitab Ta’jilun Nada bisyarhi Qotrin Nada karangan Ust.Abdullah bin
Sholih bin Abdullah Alfauzan dalam http://www.startimes.com/f.aspx?t=33759488
mengatakan:
‘Lafdzul Jalalah mempunyai dhomir huwa
yang merupakan dhomir ghoib (kata ganti orang ketiga) . Al (ال) dalam lafadz itu a’roful ma’rifat
(paling khusus) sebab tidak ada yang lebih khusus dari lafadz-lafadz
yang ma’rifat kecuali Allah SWT’.
Membahas lafdzul Jalalah tidak akan lepas dari pembahasan asal muasal kata Allah, terlepas
dari perbedaan para Ulama apakah lafadz
Allah
itu dari bahasa Arab ataukah dari bahasa selainnya (‘ajam). Ada yang
mengatakan dari bahasa Suryani atau Ibrani, yang mengatakan bahwa lafadz Allah asal
katanya dari لاها lalu alif terakhir dibuang menjadi lafadz لاه , alif yang terbuang itu
diganti dengan alif lam ta’rif (ma’rifat)
menjadi الله , atau alif tersebut di letakan di awal menjadi اله . Jumhur Ulama dalam hal
ini mengatakan bahwa lafadz Allah adalah dari bahasa arab
dan mengaku tidak pernah mendengar lafadz لاه yang mereka jadikan asal dari lafadz Allah itu. Lihat Syihabuddin Assayyid
Mahmud Afandi Al-Alusi Al-Baghdadi, Rouhul Ma’ani (1270 H) jilid 1. h. 38
Lalu ada pembahasan menarik juga yang saya baca terkait dengan lafdzul
jalalah jamid (tidak
berubah) atau musytaq ( dapat dirubah / punya asal kata). Ternyata
Imam Kholil, Imam Sibawaih, para Ulama Ahli Ushul, Ahli Kalam, seperti Imam
Syafi’I, Imam Khithobi, Imam Haramain, dan Imam Ar-Razi sepakat bahwa lafadz Allah
adalah jamid bukan musytaq. Dengan
beberapa alasan, diantaranya adalah; Musytaq berarti lafadz
yang kulliy. (Dalam ilmu mantiq ada
pembahasan tentang kully dan Juz’iy atau agar mudah difahami, kully adalah suatu yang bisa dibagi sedangkan
juz’iy adalah bagian dari sesuatu itu. Ini sudah masuk dalam daya nalar kita,
jika ingin lebih mengetahui lebih jelasnya lihat Ubaidillah bin Fadhlullah
Al-Khubaishym, At-Tadzhib Syarah Tahdzibil Mantiq karangan Sa’aduddin Mas’ud
bin Umar At-Taftazani (Diktat Azhar, 2011). Dan lafadz kully
itu tidak mencegah adanya sekutu dalam lafadz itu, serta menunjukan makna banyak.
Dan hal itu mustahil bagi Allah SWT yang mempunyai sifat esa, tunggal, satu dan
tempat kembali dari semua permasalahan yang ada didunia. Kalau seandainya
lafadz Allah itu terdapat sekutu atau yang lainnya maka hilanglah makna tauhid
itu sendiri. Sedangkan disisi lain ada perbedaan pendapat dari beberapa Ulama
yang menyatakan bahwa lafadz Allah itu mustaq dengan alasan;
lafadz Allah adalah Isim ‘Alam (kata benda berupa nama) esensinya adalah
suatu isyarat yang menunjukkan pada suatu dzat tertentu pada yang diisyaratkan.
Isyarat adalah sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indera, sedangkan yang
diisyaratkan itu boleh jadi dijangkau atau tidak terjangkau oleh panca indera,
dan pemberian nama itu agar memudahkan mengingatnya.
Musytaq lafadz Allah :
1. Berasal dari kata لاه , يليه yang semakna dengan lafadz احتجب , artinya ‘menutupi’, mengandung maksud bahwa Allah tertutup
dari panca indera dan gambaran otak. Dan dapat juga semakna dengan ارتفع yang artinya telah
tinggi, mengandung maksud bahwa Allah tinggi derajatnya diatas semua alam.
2. Berasal dari kata لاه , يلوه yang semakna dengan lafadz اضطرب , artinya ‘kebingungan’,
mengandung maksud bahwa adanya kebingungan akal manusia dalam memahami dan
mempelajari ilmu dzat, sifat dan pekerjaan Allah SWT.
3. Berasal dari kata أله, يأله yang semakna dengan lafadz اللجوء , artinya ‘rumah sakit’,
mengandung arti bahwa ketika manusia sakit mereka mengadukan sakitnya pada
Allah SWT. Dan dapat juga semakna dengan سكن , artinya ‘ketenangan’, sebab hati akan merasa tenang jika dekat
dengan-Nya. Atau semakna dengan lafadz اشتاق, artinya ‘merindu’, mengandung makna bahwa makhluk itu rindu
agar bisa mengetahui-Nya (ma’rifat dalam tasawwuf) dan rendah diri di
hadapan-Nya.
4. Berasal dari kata و ل ه semakna dengan lafadz طرب ‘gembira’, mengandung
makna bahwa seseorang akan sangat gembira ketika mengingat-Nya.
5. Berasal dari kata أله , ألهة, ألوهة, ألوهية semakna dengan lafadz عبد yang artinya ‘menghamba’, mengandung arti bahwa manusia
menghamba pada-Nya. Abulqosim
Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar Al-Khowarizmi Az-Zamakhsari, Tafsir
Al-Kassyaaf. (Beirut : Darul Kitab Al-Arobi, 2010)
Lalu ada juga keterangan yang tak kalah menarik, tentunya tidak paradok juga bila saya sebutkan dalam jawaban ini, meskipun ini hanya komentar di internet saya rasa bisa sedikit membantu, bisa dilihat di http://hajrcom.com/hajrvb/showthread.php?t=403023472.
Koment dari yang bernama Zaid As-Syahid, mengatakan bahwasanya Dzat Tuhan Maha Suci itu tidak kelihatan oleh makhluk, maka dari itu Allah sering menyebut dirinya dengan bentuk ghaib (kata ganti ketiga), sehingga tidak ada suatu fikiran ataupun terkaan yang mampu mengetahui hakikat Dzat-Nya Yang Maha Suci. Asal kalimat dhomir Huwa adalah Hu (ه) saja, artinya secara mutlak gaib, lalu lengkaplah menjadi Huwa yakni Dzat Ketuhanan diatas kesempurnaan dan diatas tidak terhingga batas ruang dan waktu. Ini yang dikenal oleh para Ulama dengan Ghoibul Ghuyub (tidak ada yang lebih gaib dari-Nya). Syekh Sandi telah mendalami perihal ini dalam concern beliau mensyarahi kitab Al-Khutbatul Ula lil Imam Ali Karramallahu Wajhah, satu ucapan sayyidina Ali RA yang sangat dalam, yaitu’Awwaluddin Ma’rifatu-Hu’ , paling utama dalam agama adalah berusaha untuk mengetahui Dzat yang mutlaq gaib-Nya. Dan aku yakin bahwa orang yang ahli ma’rifat selalu memakai metode ini.
Koment kedua dari yang bernama Elia mengatakan bahwa Imam Ibnu Asyur dari Asya’iroh yang terkenal dengan Ahlussunnah wal Jama’ah menafsirkan lafadz Huwa dengan nama dari nama-nama Allah SAW, itu biasanya dipakai oleh thoriqoh shufi, salah satunya keterangan Imam Fakhruddin Ar-Rozi dalam syarah Asma’ul Husna yang dinukil oleh Ibnu Arafah , yaitu dalam Mafatihul Ghoib. Dalam membahas kalimat Qul Huwa Allahu Ahad, terdapat tiga nama sebagai peringatan untuk tiga tingkatan. Pertama, tingkatan orang –orang terdahulu, yang sangat dekat dan selalu melihat segala sesuatu dengan hakikat,mereka tidak melihat adanya sesuatu selain Allah, selain-Nya mereka anggap tiada, dan lafadz Huwa saja sudah cukup bagi mereka untuk mengimani keesaan Allah, sebab lafadz Huwa adalah isyarat mutlaq, jadi secara logika ketika yang diisyaratkan itu (Allah) sudah tertentu, maka kepastian itu akan mutlaq adanya. Tingkatan kedua adalah golongan kanan menengah, mereka bersaksi bahwa kebenaran itu ada (maksudnya adanya Allah) dan segala sesuatu yang mungkin juga ada (makhluq), mereka tidak cukup hanya dikasih lafadz Huwa, perlu ditambah lafadz Allah agar mereka lebih yakin. Jadi peringatan bagi mereka Huwallahu . Adapun tingkatan terakhir yaitu golongan kiri yang masih ada fikiran bahwa tuhan itu banyak, maka harus diberi peringatan lebih keras dari pada sebelumnya , yaitu Huwa Allahu Ahad. Sampai mereka yakin akan keesaan Allah SWT.
Dan koment-koment lainnya masih banyak, tapi saya memilih dua saja yang saya rasa berbobot untuk di jadikan jawaban disini.
Kesimpulan yang bisa saya ambil, kenapa lafad Allah memakai Huwa, sebab dalam lafadz itu terdapat rahasia yang sangat luar biasa dari Allah sendiri, namun kita sebagai makhluk tidak akan mampu mengetahui semua rahasia Allah, apa kehendak Allah yang sejatinya, sebab manusia hanya bisa berijtihad, dan itu tidak dilarang olehnya bahkan itu adalah anugerah yang perlu kita syukuri. Maka dalam ilmu tasawwuf sering kita mendengar ; Man ‘Arafa Nafsahu Faqod ‘Arafa Rabbah , siapa yang mengenal jati dirinya sediri, maka sungguh dia telah mengenal Tuhan-Nya.
Terimakasih atas
perhatiannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar