Jumat, 22 Agustus 2014

Tanya Jawab Mahasiswa




Tanya :
Kenapa dhomir yang di gunakan lafdzul jalalah adalah huwa (هو)?

 Jawab :
Sebelum menjawab alasan kenapa dhomir yang digunakan adalah huwa saya akan sedikit menerangkan tentang Lafadz Allah (الله). 

Dalam kitab Ta’jilun Nada bisyarhi Qotrin Nada karangan Ust.Abdullah bin Sholih bin Abdullah Alfauzan dalam http://www.startimes.com/f.aspx?t=33759488
mengatakan:
Lafdzul Jalalah mempunyai dhomir huwa  yang merupakan dhomir ghoib  (kata ganti orang ketiga) .  Al (ال) dalam lafadz itu a’roful  ma’rifat  (paling khusus) sebab tidak ada yang lebih khusus dari lafadz-lafadz yang ma’rifat kecuali Allah SWT’. 

Membahas lafdzul Jalalah tidak akan lepas dari  pembahasan asal muasal kata Allah, terlepas dari perbedaan para Ulama apakah lafadz Allah itu dari bahasa Arab ataukah dari bahasa selainnya (‘ajam). Ada yang mengatakan dari bahasa Suryani atau Ibrani, yang mengatakan bahwa lafadz Allah asal katanya dari لاها  lalu alif terakhir dibuang menjadi lafadz لاه  , alif yang terbuang itu diganti dengan alif lam ta’rif (ma’rifat) menjadi الله , atau alif tersebut di letakan di awal menjadi اله  . Jumhur Ulama dalam hal ini mengatakan bahwa lafadz Allah adalah dari bahasa arab dan mengaku tidak pernah mendengar lafadz لاه yang mereka jadikan asal dari lafadz Allah itu.  Lihat Syihabuddin Assayyid Mahmud Afandi Al-Alusi Al-Baghdadi, Rouhul Ma’ani (1270 H) jilid 1. h. 38

Lalu ada pembahasan menarik juga yang saya baca terkait dengan lafdzul jalalah jamid (tidak berubah) atau musytaq ( dapat dirubah / punya asal kata). Ternyata Imam Kholil, Imam Sibawaih, para Ulama Ahli Ushul, Ahli Kalam, seperti Imam Syafi’I, Imam Khithobi, Imam Haramain, dan Imam Ar-Razi sepakat bahwa lafadz Allah adalah jamid bukan musytaq. Dengan beberapa alasan, diantaranya adalah; Musytaq berarti lafadz yang kulliy. (Dalam ilmu mantiq ada pembahasan tentang kully dan Juz’iy atau agar mudah difahami, kully  adalah suatu yang bisa dibagi sedangkan juz’iy adalah bagian dari sesuatu itu. Ini sudah masuk dalam daya nalar kita, jika ingin lebih mengetahui lebih jelasnya lihat Ubaidillah bin Fadhlullah Al-Khubaishym, At-Tadzhib Syarah Tahdzibil Mantiq karangan Sa’aduddin Mas’ud bin Umar At-Taftazani (Diktat Azhar, 2011). Dan lafadz  kully itu tidak mencegah adanya sekutu dalam lafadz itu, serta menunjukan makna banyak. Dan hal itu mustahil bagi Allah SWT yang mempunyai sifat esa, tunggal, satu dan tempat kembali dari semua permasalahan yang ada didunia. Kalau seandainya lafadz Allah itu terdapat sekutu atau yang lainnya maka hilanglah makna tauhid itu sendiri. Sedangkan disisi lain ada perbedaan pendapat dari beberapa Ulama yang menyatakan bahwa lafadz Allah itu mustaq dengan alasan; lafadz Allah adalah Isim ‘Alam (kata benda berupa nama) esensinya adalah suatu isyarat yang menunjukkan pada suatu dzat tertentu pada yang diisyaratkan. Isyarat adalah sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indera, sedangkan yang diisyaratkan itu boleh jadi dijangkau atau tidak terjangkau oleh panca indera, dan pemberian nama itu agar memudahkan mengingatnya. 

Musytaq lafadz Allah :
1.     Berasal dari kata لاه , يليه  yang semakna dengan lafadz احتجب , artinya ‘menutupi’, mengandung maksud bahwa Allah tertutup dari panca indera dan gambaran otak. Dan dapat juga semakna dengan ارتفع  yang artinya telah tinggi, mengandung maksud bahwa Allah tinggi derajatnya diatas semua alam.
2.     Berasal dari kata لاه , يلوه  yang semakna dengan lafadz اضطرب  , artinya ‘kebingungan’, mengandung maksud bahwa adanya kebingungan akal manusia dalam memahami dan mempelajari ilmu dzat, sifat dan pekerjaan Allah SWT.
3.     Berasal dari kata أله, يأله  yang semakna dengan lafadz اللجوء  , artinya ‘rumah sakit’, mengandung arti bahwa ketika manusia sakit mereka mengadukan sakitnya pada Allah SWT. Dan dapat juga semakna dengan سكن , artinya ‘ketenangan’, sebab hati akan merasa tenang jika dekat dengan-Nya. Atau semakna dengan lafadz اشتاق, artinya ‘merindu’, mengandung makna bahwa makhluk itu rindu agar bisa mengetahui-Nya (ma’rifat dalam tasawwuf) dan rendah diri di hadapan-Nya.
4.     Berasal dari kata و ل ه  semakna dengan lafadz طرب  ‘gembira’, mengandung makna bahwa seseorang akan sangat gembira ketika mengingat-Nya.
5.      Berasal dari kata أله , ألهة, ألوهة, ألوهية  semakna dengan lafadz عبد yang artinya ‘menghamba’, mengandung arti bahwa manusia menghamba pada-Nya. Abulqosim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar Al-Khowarizmi Az-Zamakhsari, Tafsir Al-Kassyaaf. (Beirut : Darul Kitab Al-Arobi, 2010)

Setelah itu, saya cari tentang mengapa lafadz Allah memakai dhomir huwa, ketika di cari, ketemunya tentang bab la allatii linafyil jinsi  bait ke 191-205 dalam Alfiyah ibnu Malik , disana banyak diterangkan bahwa dalam lafadz  Laa Ilaaha Illallah setelah lafadz laa  itu ada lafadz yang dibuang, yaitu laa - ma’buuda haqqun-  illallah. Sebab laa disini merupakan laa allatii linafyil jinsi  yang telah sama-sama kita ketahui. Lalu ternyata rahasia mengapa Allah sering memakai dhomir huwa saya dapatkan dalam ilmu Ma’ani  dalam bab At-Ta’riif bil ‘Alamiyah, disana dijelaskan bahwa ketika Allah menyebutkan namanya sendiri dalam Al-Quran mempunyai makna yang sangat dalam, yaitu menghadirkan nama Allah yang khusus didalam hati pendengarnya, menambah keyakinan akan kondisi Allah,  contoh dalam kalimat Qul Huwa Allahu Ahad , keesaan Allah menjadi melekat dalam hati pendengarnya dan lebih yakin dalam mentauhidkan-Nya. Lalu Allah juga sering berfirman dalam Al-Qur’an dengan nilai sastra yang tinggi, salah satunya dengan iltifat (berpindah dari kata ganti pertama, kedua dan ketiga saling bergantian hingga 6 gambaran) yang mempunyali value tersendiri dalam sastra Al-Qur’an, mukjizat terbesar era ini, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Qozwini dalam kitab Al-Idhoh yang telah di tahqiq oleh Syekh Abdul Muta’al As-Sho’idiy dengan nama  Bughyatul Idhoh, ia berkata ; Ketahuilah bahwa iltifat termasuk dari kalam yang indah yang mana keindahannya itu dijelaskan oleh Syekh Zamakhsyari bahwa suatu kalam apabila terjadi perpindahan dari satu gaya bahasa ke bahasa lain, maka itu menjadi daya tarik tersendiri untuk membuat pendengarnya  tambah giat, hatinya berevolusi bangkit, dan supaya tidak membosankan. Iltifat suatu gaya bahasa yang gurih bagi penikmatnya, dan selalu tepat disetiap kondisi kejiwaan manusia sehingga membuat pendengarnya tercengang dan senantiasa siap siaga untuk mendengar kalimat selanjutnya, ini hanya secara umum saja’. Ibrahim Abdul Hamid At-Talab dan ‘Abdussattar Husain Zamuth, Ilmul Ma’ani (Cairo: Diktat Azhar Kuliah bahasa Arab, tt) 

Lalu ada juga keterangan yang tak kalah menarik, tentunya  tidak paradok juga bila saya sebutkan dalam jawaban ini, meskipun ini hanya komentar di internet saya rasa bisa sedikit membantu,  bisa dilihat di http://hajrcom.com/hajrvb/showthread.php?t=403023472.  

Koment dari yang bernama Zaid As-Syahid, mengatakan bahwasanya Dzat Tuhan Maha Suci itu tidak kelihatan oleh makhluk, maka dari itu Allah sering menyebut dirinya dengan bentuk ghaib (kata ganti ketiga), sehingga tidak ada suatu fikiran ataupun terkaan yang mampu mengetahui hakikat Dzat-Nya Yang Maha Suci. Asal kalimat dhomir Huwa adalah Hu (ه)  saja, artinya secara mutlak gaib, lalu lengkaplah menjadi Huwa yakni Dzat Ketuhanan diatas kesempurnaan dan diatas tidak terhingga batas ruang dan waktu. Ini yang dikenal oleh para Ulama dengan  Ghoibul Ghuyub (tidak ada yang lebih gaib dari-Nya). Syekh Sandi telah mendalami perihal ini dalam concern beliau mensyarahi kitab ­Al-Khutbatul Ula lil Imam Ali Karramallahu Wajhah, satu ucapan sayyidina Ali RA yang sangat dalam, yaitu’Awwaluddin Ma’rifatu-Hu , paling utama dalam agama adalah berusaha untuk mengetahui Dzat yang mutlaq gaib-Nya. Dan aku yakin bahwa orang yang ahli ma’rifat selalu memakai metode ini. 

Koment kedua dari yang  bernama Elia mengatakan bahwa Imam Ibnu Asyur dari Asya’iroh  yang terkenal dengan Ahlussunnah wal Jama’ah menafsirkan lafadz Huwa dengan nama dari nama-nama Allah SAW, itu biasanya dipakai oleh thoriqoh shufi, salah satunya keterangan Imam Fakhruddin Ar-Rozi dalam syarah Asma’ul Husna  yang dinukil oleh Ibnu Arafah , yaitu dalam Mafatihul Ghoib. Dalam membahas kalimat Qul Huwa Allahu Ahad, terdapat tiga nama sebagai peringatan untuk tiga tingkatan. Pertama, tingkatan orang –orang terdahulu, yang sangat dekat dan selalu melihat segala sesuatu dengan hakikat,mereka tidak melihat adanya sesuatu selain Allah, selain-Nya mereka anggap tiada, dan lafadz Huwa  saja sudah cukup bagi mereka untuk mengimani keesaan Allah, sebab lafadz Huwa adalah isyarat mutlaq, jadi secara logika ketika yang diisyaratkan itu (Allah) sudah tertentu, maka kepastian itu akan mutlaq adanya. Tingkatan kedua adalah golongan kanan menengah, mereka bersaksi bahwa kebenaran itu ada (maksudnya adanya Allah) dan segala sesuatu yang mungkin juga ada (makhluq), mereka tidak cukup hanya dikasih lafadz Huwa, perlu ditambah lafadz  Allah agar mereka lebih yakin. Jadi peringatan bagi mereka Huwallahu . Adapun tingkatan terakhir yaitu golongan kiri yang masih ada fikiran bahwa tuhan itu banyak, maka harus diberi peringatan lebih keras dari pada sebelumnya , yaitu Huwa Allahu Ahad. Sampai mereka yakin akan keesaan Allah SWT. 

Dan koment-koment lainnya masih banyak, tapi saya memilih dua saja yang saya rasa berbobot untuk di jadikan jawaban disini. 

Kesimpulan yang bisa saya ambil, kenapa lafad Allah memakai Huwa, sebab dalam lafadz itu terdapat rahasia yang sangat luar biasa dari Allah sendiri, namun kita sebagai makhluk tidak akan mampu mengetahui semua rahasia Allah, apa kehendak Allah yang sejatinya, sebab manusia hanya bisa berijtihad, dan itu tidak dilarang olehnya bahkan itu adalah anugerah yang perlu kita syukuri. Maka dalam ilmu tasawwuf sering kita mendengar ; Man ‘Arafa Nafsahu Faqod ‘Arafa Rabbah , siapa yang mengenal jati dirinya sediri, maka sungguh dia telah mengenal Tuhan-Nya.
Terimakasih atas perhatiannya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar