Musyawarah merupakan nilai tinggi dalam kemanusiaan,
para ulama sepakat akan kewajiban bermusyawarah.
Allah Swt. berfirman:
" Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; 'Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi'. Mereka menjawab; 'Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?'. Dia berfirman; 'Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui'. Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman; 'Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar?'. Mereka menjawab; 'Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang telah Engkau ajarkan pada kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana' ". (QS : Al-Baqarah [2] 30-32).
Musyawarah dalam al-Qur'an bisa kita lihat dari ayat di atas, di sana Allah menyampaikan maksud-Nya untuk menciptakan manusia dan berfirman kepada seluruh malaikat, lalu malaikat menjawab seakan tidak percaya kepada yang namanya manusia. Pada akhirnya Allah Swt. menegaskan bahwasannya Ia Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, adapun malaikat sebagai makhluk ciptaan-Nya mempunyai pengetahuan terbatas, sehingga mengira seluruh manusia akan berbuat kerusakan dan saling membunuh saja tanpa adanya orang-orang yang istimewa melebihi mereka.
Maka dari itu, dalam ilmu tauhid Ahlussunnah Wa al-Jama’ah ada sebuah bab yang menerangkan tentang runtutan makhluk Allah yang paling mulia, ternyata yang paling mulia itu adalah manusia bukan malaikat, manusia termulya adalah Rasulullah Saw. secara mutlak, lalu disusul oleh khulafaurrasyidin. Ini membuktikan bahwa derajat manusia yang sudah berhasil melewati segala keperihan hidup, setiap hari harus melawan hawa nafsu, perlu dihargai dan dinobatkan menjadi makhluk termulya dari pada makhluk lainnya. Berbeda dengan malaikat yang tidak mempunyai hawa nafsu sedikitpun. Wajar bila mereka semua taat pada Allah Swt.
Dari sepenggal kisah di atas, membuktikan pada kita bahwa Allah saja sebagai Raja diraja seluruh alam, masih menyempatkan diri-Nya bermusyawarah dengan bawahan-Nya, meskipun Allah sudah tahu apa manfaat dan madaratnya. Hal ini memberi pelajaran kepada kita bahwa musyawarah itu penting dalam Islam, karena dengan bermusyawarah akan timbul persatuan, dan dengan persatuan akan tercipta suatu kekuatan yang luar biasa.
Allah Swt. berfirman:
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ
أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْن
وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ
عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
قَالُوْا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ
مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْم
" Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; 'Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi'. Mereka menjawab; 'Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?'. Dia berfirman; 'Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui'. Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman; 'Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar?'. Mereka menjawab; 'Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang telah Engkau ajarkan pada kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana' ". (QS : Al-Baqarah [2] 30-32).
Musyawarah dalam al-Qur'an bisa kita lihat dari ayat di atas, di sana Allah menyampaikan maksud-Nya untuk menciptakan manusia dan berfirman kepada seluruh malaikat, lalu malaikat menjawab seakan tidak percaya kepada yang namanya manusia. Pada akhirnya Allah Swt. menegaskan bahwasannya Ia Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, adapun malaikat sebagai makhluk ciptaan-Nya mempunyai pengetahuan terbatas, sehingga mengira seluruh manusia akan berbuat kerusakan dan saling membunuh saja tanpa adanya orang-orang yang istimewa melebihi mereka.
Maka dari itu, dalam ilmu tauhid Ahlussunnah Wa al-Jama’ah ada sebuah bab yang menerangkan tentang runtutan makhluk Allah yang paling mulia, ternyata yang paling mulia itu adalah manusia bukan malaikat, manusia termulya adalah Rasulullah Saw. secara mutlak, lalu disusul oleh khulafaurrasyidin. Ini membuktikan bahwa derajat manusia yang sudah berhasil melewati segala keperihan hidup, setiap hari harus melawan hawa nafsu, perlu dihargai dan dinobatkan menjadi makhluk termulya dari pada makhluk lainnya. Berbeda dengan malaikat yang tidak mempunyai hawa nafsu sedikitpun. Wajar bila mereka semua taat pada Allah Swt.
Dari sepenggal kisah di atas, membuktikan pada kita bahwa Allah saja sebagai Raja diraja seluruh alam, masih menyempatkan diri-Nya bermusyawarah dengan bawahan-Nya, meskipun Allah sudah tahu apa manfaat dan madaratnya. Hal ini memberi pelajaran kepada kita bahwa musyawarah itu penting dalam Islam, karena dengan bermusyawarah akan timbul persatuan, dan dengan persatuan akan tercipta suatu kekuatan yang luar biasa.
Selanjutnya, dalam al-Qur'an ada kisah penyembelihan anak Nabi Ibrahim as. yang diperintahkan Allah
SWT kepadanya, lalu apakah beliau langsung saja menyembelih anaknya Isma'il tanpa bermusyawarah dulu kepada sang anak?
Sekali-kali tidak, beliau ternyata bermusyawarah;
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) bertanya; 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku akan menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu'. Dia (Ismail) menjawab, wahai bapakku lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu, insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS : As-Shaffat [37] : 102).
Inilah pelajaran musyawarah dalam skala terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga, apalagi musyawarah dalam skala yang lebih besar, tentu lebih wajib.
Allah Swt. berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ
إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ
إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) bertanya; 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku akan menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu'. Dia (Ismail) menjawab, wahai bapakku lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu, insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS : As-Shaffat [37] : 102).
Inilah pelajaran musyawarah dalam skala terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga, apalagi musyawarah dalam skala yang lebih besar, tentu lebih wajib.
Allah Swt. berfirman:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوْا۟
بَيْنَهُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ
وَٱلْيَوْمِ ٱلْاخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ
وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ
لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى
ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ -
"
(QS : Al-Baqarah [2] 232-233)
Satu lagi pelajaran musyawarah dalam keluarga, yaitu terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 232-233 tentang perceraian. Di sana diterangkan bahwa antara suami dan istri harus saling memahami, saling meridhai, baik ketika sang istri ingin rujuk kembali pada suaminya, maka wali dari sang istri tidak boleh menghalang-halangi anaknya untuk kembali bersatu dengan suaminya. Saling memahami dan meridhai tidak akan terwujud kecuali dengan jalan musyawarah. Menarik sekali di ayat selanjutnyapun yang menerangkan tentang bagaimana cara mengatur urusan anak-anak, maka di sanapun ada unsur musyawarah. Jangan hanya sang istri yang menentukan, atau hanya suami saja tanpa melihat pendapat istrinya. Akan tetapi, dengan bermusyawarah antara keduanya sehingga jika mereka mempunyai momongan, maka masa depan anak mereka akan lebih baik, karena telah bermusyawarah sebelumnya. Berbeda jika hanya egoisme seseorang saja, itu akan berpengaruh negatif pada perkembangan psikologi sang anak. Jika kita sayang pada anak kita, maka bermusyawarahlah dalam segala urusan.
Seorang ibu memang sangat berpengaruh kepada anak, bagaimana tidak, ia yang mengandungnya selama 9 tahun, ia yang menyapihnya selama kurang lebih 2 tahun. Akan tetapi suami juga tidak kalah penting dalam pengaruh kehidupan pada anaknya, sebab anak yang lahir itu tidak akan jadi, kecuali disebabkan sperma laki-laki. Maka dari itu, musyawarahlah dalam segala urusan anak agar ia kelak menjadi anak yang berbakti dan menjadi anak yang sukses.
Allah Swt. berfirman :
يٰۤـاَيُّهَا النَّبِىُّ قُلْ لِّاَزۡوَاجِكَ
اِنۡ كُنۡتُنَّ تُرِدۡنَ الۡحَيٰوةَ الدُّنۡيَا وَزِيۡنَتَهَا فَتَعَالَيۡنَ اُمَتِّعۡكُنَّ
وَاُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحًا جَمِيۡلًا
وَاِنۡ كُنۡتُنَّ تُرِدۡنَ اللّٰهَ
وَرَسُوۡلَهٗ وَالدَّارَ الۡاٰخِرَةَ فَاِنَّ اللّٰهَ اَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنٰتِ مِنۡكُنَّ
اَجۡرًا عَظِيۡمًا
(QS : Al-Ahzab
[] 28-29)
Ayat di atas menerangkan tentang motivasi dari Rasulullah Saw. kepada para istrinya agar senantiasa bermusyawarah dengan kedua orang tua mereka. Rasulullah Saw. mengatakan pada Ummil Mu’minin Aisyah ra.; “Maka janganlah kamu tergesa-gesa sebelum kamu bermusyawarah”. (HR: Bukhari).
Ini merupakan suri tauladan yang baik dari Rasulullah Saw. mengajarkan pada seluruh umat Islam untuk senantiasa bermusyawarah di setiap permasalahan yang ada.
فَمَآ أُوتِيتُم مِّن شَىْءٍۢ فَمَتَٰعُ
ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌۭ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
وَٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلْإِثْمِ
وَٱلْفَوَٰحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا۟ هُمْ يَغْفِرُونَ
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا
الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(QS: As-Syura
[] 36-38)
Saking pentingnya, maka musyawarah menjadi nama salah-satu surat dalam al-Quran, yaitu surat as-Syura.
Musyawarah merupakan sifat dasar dalam masyarakat Islami, sebab setelah umat Islam beriman, bertawakkal pada Allah Swt., meninggalkan dosa-dosa besar dan perbuatan keji, mencintai segala perintah-Nya, senantiasa mendirikan shalat. Maka yang tidak kalah penting adalah selalu bermusyawarah dalam setiap urusannya, menyucikan harta mereka dan menginfakkan hartanya dijalan Allah.
Ayat di atas mengungkapkan syarat bermusyawarah, yaitu dengan cara beriman terlebih dahulu pada Allah Swt. dan bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Karena jika tidak mempunyai syarat tersebut, mereka dikhawatirkan akan bermusyawarah dalam kejahatan dan melenceng dari kebenaran.
Tujuan dari bermusyawarah dalam Islam adalah terciptanya hubungan saling tolong menolong dalam kebaikan, sebab manusia sebagai zoon politicon, saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.
Maka bermusyawarahlah dengan menjalankan syaratnya agar hasil dari musyawarah itu membawa maslahat bagi semuanya.
Musyawarah itu sudah ada semenjak Rasulullah Saw. berada di Mekkah. Ayat di atas Makkiyah, menunjukkan
kekontinyuan musyawarah dalam bersosial dan berlanjut setelah pendirian
pemerintah di Madinah. Musyawarah merupakan alat penyelesaian masalah dari masa
kemasa, bukan hanya satu generasi saja. Musyawarah itu penting dalam Islam,
sebab dia disandingkan dengan Iman kepada Allah, mendirikan
shalat, dsb. Ayat ini ditunjukkan langsung kepada Rasulullah Saw (langsung
khitobnya beliau), sebab Rasulullah Saw. merupakan da’i, petunjuk, sekaligus guru
besar kita dalam mencontohkan bagaimana kita selaku umatnya bermusyawarah. Para sahabat
merasakan keadilan dan kesejahteraan ketika bermusyawarah, bahkan orang non kafirpun merasakannya.
Maka pesar dari penulis, bermusyawarahlah dalam hal sekecil apapun.
Dikutip dari buku karya Ali Muhammad As-Sallaby, As-Syura Fariidhoh
Islamiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar