Rabu, 27 Agustus 2014

Selayang Pandang tentang Surat Al-Baqarah




Surat al-Baqarah ini salah satu surat yang dibuka oleh Huruf Tahajji  (Huruf permulaan surat yang berjumlah 14 huruf yang terkumpul dalam kata
نص حكيم له سر قاطع   terdapat di 29 surat dalam Al-Quran ). 

Al-Baqarah secara bahasa artinya sapi, sebab dalam surat ini mengangkat kisah sapi yang harus di potong oleh kaum Bani Israil zaman Nabi Musa AS tetapi mereka tidak memotongnya, ayatnya berjumlah 286/287 ayat. 

Al-Baqarah termasuk dalam kategori surat madaniyah menurut Jumhur Ulama. Lalu dalam surat ini ada ayat yang terakhir turun yaitu ayat ke 281. 

Huruf tahajji  ada lima bagian, yaitu:
  1. 1.     Surat yang didahului oleh satu huruf terdapat Tiga surat dalam Al-Qur’an, yaitu surat Shad, Qaf, dan al-Qalam (Nun).
  1. 2.     Surat yang didahului oleh dua huruf terdapat dalam sembilan surat dalam al-Qur’an, yaitu surat Thaha, Yasin, Thasin, Ghafir, Fushilat, az-Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jatsiyah dan al-Ahqaf.
  1. 3.     Surat yang didahului oleh tiga huruf terdapat dalam tiga belas surat dalam al-Qur’an, yaitu al-Baqarah, al-Imran, al-‘Ankabut, ar-Rum, Luqman, as-Sajdah, Yunus, Hud, Yusuf, al-Hijr, Ibrahim, as-Syu’ara dan al-Qashash.
  1. 4.     Surat yang didahului oleh empat huruf terdapat dalam dua surat saja, yaitu ar-Ra’du dan al-A’raf.
  1. 5.     Surat yang didahului oleh lima huruf terdapat dalam dua surat saja, yaitu Maryam dan as-Syura.
Jadi, surat al-Baqarah itu termasuk bagian yang ketiga, sebab didahului oleh tiga huruf yaitu Alif, Lam, Mim. Cara bacanya Alif (pendek), Laaaaaam (panjang 6 harakat), Miiiiiim (panjang enam harakat). Perlu digaris bawahi, bahwa Laaaaaam masuk pada Miiiiiim maka harus dibaca idghom, dengan adanya dengung dua harakat. Ini dikenal dalam ilmu tajwid dengan Mad Lazim Harfi Mutsaqqal

Dalam suatu riwayat hadits dari Sahl bin Sa’ad ia berkata Rasulullah Saw. bersabda : “Sungguh segala sesuatu itu ada taringnya dan taringnya al-Quran adalah surat al-Baqarah. Siapa yang membacanya di rumah, maka rumah itu tidak akan dapat dimasuki syetan selama tiga malam. Siapa yang membacanya siang hari maka syetan tidak dapat masuk selama tiga hari.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya)

Imam Qurthubi senantiasa mentadabburi surat al-Baqarah, sebab beliau melihat dalam surat ini terdapat keagungan yang luar biasa, banyak menerangkan undang-undang berdasarkan Islam dan nasehat-nasehat yang baik. Surat ini banyak menerangkan tentang ketauhidan dan penerapan Syari’at Islam dimasa Daulah Islamiyah. Terdapat kisah Bani Israil yang begitu membangkang kepada seruan Nabi mereka dan prilaku tercela dari mereka yang harus diketahui oleh kaum Muslimin untuk menghindarinya. Kalimat yang Allah Swt. gunakan dalam menyampaikan kisah itu sangat menakjubkan, mudah diserap, kaya akan sastra, bahasa yang indah, dan susunan yang sempurna. Kata-kata-Nya sedikit namun penuh arti dan membuat hati orang –orang yang beriman menjadi tambah kuat. 
Bacalah  surat al-Baqarah sesuai dengan tajwid dan qiraatnya, sebab satu huruf saja pahala membacanya dilipatgandakan menjadi sepuluh pahala. 

Mari mentadabburinya dengan melihat tafsir, sebab dalam kitab al-Itqan Imam Suyuthi berkata; "Tidak mungkin mentadabburi al-Qur'an tanpa mengetahui tafsirnya". 

Mari membaca tafsir dengan menguasai ilmu bahasa Arab, sebab al-Qur'an itu berbahasa Arab. Maka pelajarilah kaidah-kaidahnya di dalam ilmu Nahwu dan Sharaf. 

Terangilah rumah kita dengan membaca surat al-Baqarah dan surat-surat lainnya.

Dikutip dari kitab karangan DR. Muhammad Abdullah Darraz, Nabaul Adzim (208), diktat Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo.

Minggu, 24 Agustus 2014

Musyawarah yang Islami



Musyawarah merupakan nilai tinggi dalam kemanusiaan, para ulama sepakat akan kewajiban bermusyawarah. 

Allah Swt. berfirman: 

وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْن
وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
قَالُوْا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْم


" Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; 'Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi'. Mereka menjawab; 'Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?'. Dia berfirman; 'Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui'. Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman; 'Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar?'. Mereka menjawab; 'Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang telah Engkau ajarkan pada kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana' ". (QS : Al-Baqarah [2] 30-32).

Musyawarah dalam al-Qur'an bisa kita lihat dari ayat di atas, di sana Allah menyampaikan maksud-Nya untuk menciptakan manusia dan berfirman kepada seluruh malaikat, lalu malaikat menjawab seakan tidak percaya kepada yang namanya manusia. Pada akhirnya Allah Swt. menegaskan bahwasannya Ia Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, adapun malaikat sebagai makhluk ciptaan-Nya mempunyai pengetahuan terbatas, sehingga mengira seluruh manusia akan berbuat kerusakan dan saling membunuh saja tanpa adanya orang-orang yang istimewa melebihi mereka. 

Maka dari itu, dalam ilmu tauhid Ahlussunnah Wa al-Jama’ah ada sebuah bab yang menerangkan tentang runtutan makhluk Allah yang paling mulia, ternyata yang paling mulia itu adalah manusia bukan malaikat, manusia termulya adalah Rasulullah Saw. secara mutlak, lalu disusul oleh khulafaurrasyidin. Ini membuktikan bahwa derajat manusia yang sudah berhasil melewati segala keperihan hidup, setiap hari harus melawan hawa nafsu, perlu dihargai dan dinobatkan menjadi makhluk termulya dari pada makhluk lainnya. Berbeda dengan malaikat yang tidak mempunyai hawa nafsu sedikitpun. Wajar bila mereka semua taat pada Allah Swt. 

Dari sepenggal kisah di atas, membuktikan pada kita bahwa Allah saja sebagai Raja diraja seluruh alam, masih menyempatkan diri-Nya bermusyawarah dengan bawahan-Nya, meskipun Allah sudah tahu apa manfaat dan madaratnya. Hal ini memberi pelajaran kepada kita bahwa musyawarah itu penting dalam Islam, karena dengan bermusyawarah akan timbul persatuan, dan dengan persatuan akan tercipta suatu kekuatan yang luar biasa. 

Selanjutnya, dalam al-Qur'an ada kisah penyembelihan anak Nabi Ibrahim as. yang diperintahkan Allah SWT kepadanya, lalu apakah beliau langsung saja menyembelih anaknya Isma'il tanpa bermusyawarah dulu kepada sang anak? Sekali-kali tidak, beliau ternyata bermusyawarah;

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ  قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) bertanya; 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku akan menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu'. Dia (Ismail) menjawab, wahai bapakku lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu, insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS : As-Shaffat [37] : 102).

Inilah pelajaran musyawarah dalam skala terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga, apalagi musyawarah dalam skala yang lebih besar, tentu lebih wajib.  

Allah Swt. berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَٰجَهُنَّ إِذَا تَرَٰضَوْا۟ بَيْنَهُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْاخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ -


(QS : Al-Baqarah [2] 232-233)

Satu lagi pelajaran musyawarah dalam keluarga, yaitu terdapat dalam surat al-Baqarah  ayat 232-233 tentang perceraian. Di sana diterangkan bahwa antara suami dan istri harus saling memahami, saling meridhai, baik ketika sang istri ingin rujuk kembali pada suaminya, maka wali dari sang istri tidak boleh menghalang-halangi anaknya untuk kembali bersatu dengan suaminya. Saling memahami dan meridhai tidak akan terwujud kecuali dengan jalan musyawarah. Menarik sekali di ayat selanjutnyapun yang menerangkan tentang bagaimana cara mengatur urusan anak-anak, maka di sanapun  ada unsur musyawarah. Jangan hanya sang istri yang menentukan, atau hanya suami saja tanpa melihat pendapat istrinya. Akan tetapi, dengan bermusyawarah antara keduanya sehingga jika mereka mempunyai momongan, maka masa depan anak mereka akan lebih baik, karena telah bermusyawarah sebelumnya. Berbeda jika hanya egoisme seseorang saja, itu akan berpengaruh negatif pada perkembangan psikologi sang anak. Jika kita sayang pada anak kita, maka bermusyawarahlah dalam segala urusan. 

Seorang ibu memang sangat berpengaruh kepada anak, bagaimana tidak, ia yang mengandungnya selama 9 tahun, ia yang menyapihnya selama kurang lebih 2 tahun. Akan tetapi suami juga tidak kalah penting dalam pengaruh kehidupan pada anaknya, sebab anak yang lahir itu tidak akan jadi, kecuali disebabkan sperma laki-laki. Maka dari itu, musyawarahlah dalam segala urusan anak agar ia kelak menjadi anak yang berbakti dan menjadi anak yang sukses.

Allah Swt. berfirman : 

يٰۤـاَيُّهَا النَّبِىُّ قُلْ لِّاَزۡوَاجِكَ اِنۡ كُنۡتُنَّ تُرِدۡنَ الۡحَيٰوةَ الدُّنۡيَا وَزِيۡنَتَهَا فَتَعَالَيۡنَ اُمَتِّعۡكُنَّ وَاُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحًا جَمِيۡلًا
‏ وَاِنۡ كُنۡتُنَّ تُرِدۡنَ اللّٰهَ وَرَسُوۡلَهٗ وَالدَّارَ الۡاٰخِرَةَ فَاِنَّ اللّٰهَ اَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنٰتِ مِنۡكُنَّ اَجۡرًا عَظِيۡمًا
(QS : Al-Ahzab [] 28-29)

Ayat di atas menerangkan tentang motivasi dari Rasulullah Saw. kepada para istrinya agar senantiasa bermusyawarah dengan kedua orang tua mereka. Rasulullah Saw. mengatakan pada Ummil Mu’minin Aisyah ra.; “Maka janganlah kamu tergesa-gesa sebelum kamu bermusyawarah”. (HR: Bukhari). 

Ini merupakan suri tauladan yang baik dari Rasulullah Saw. mengajarkan pada seluruh umat Islam untuk senantiasa bermusyawarah di setiap permasalahan yang ada.

فَمَآ أُوتِيتُم مِّن شَىْءٍۢ فَمَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌۭ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
وَٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَٰحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا۟ هُمْ يَغْفِرُونَ
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(QS: As-Syura [] 36-38)

Saking pentingnya, maka musyawarah menjadi nama salah-satu surat dalam al-Quran, yaitu surat as-Syura. 

Musyawarah merupakan sifat dasar dalam masyarakat Islami, sebab setelah umat Islam beriman, bertawakkal pada Allah Swt., meninggalkan dosa-dosa besar dan perbuatan keji, mencintai segala perintah-Nya, senantiasa mendirikan shalat. Maka yang tidak kalah penting adalah selalu bermusyawarah dalam setiap urusannya, menyucikan harta mereka dan  menginfakkan hartanya dijalan Allah.

Ayat di atas mengungkapkan syarat bermusyawarah, yaitu dengan cara beriman terlebih dahulu pada Allah Swt. dan bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Karena jika tidak mempunyai syarat tersebut, mereka dikhawatirkan akan bermusyawarah dalam kejahatan dan  melenceng dari kebenaran. 

Tujuan dari bermusyawarah dalam Islam adalah terciptanya hubungan saling tolong menolong dalam kebaikan, sebab manusia sebagai zoon politicon, saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. 

Maka bermusyawarahlah dengan menjalankan syaratnya agar hasil dari musyawarah itu membawa maslahat bagi semuanya.





Musyawarah itu sudah ada semenjak Rasulullah Saw. berada di Mekkah. Ayat di atas Makkiyah, menunjukkan kekontinyuan musyawarah dalam bersosial dan berlanjut setelah pendirian pemerintah di Madinah. Musyawarah merupakan alat penyelesaian masalah dari masa kemasa, bukan hanya satu generasi saja. Musyawarah itu penting dalam Islam, sebab dia disandingkan dengan Iman kepada Allah, mendirikan shalat, dsb. Ayat ini ditunjukkan langsung kepada Rasulullah Saw (langsung khitobnya beliau), sebab Rasulullah Saw. merupakan da’i, petunjuk, sekaligus guru besar kita dalam mencontohkan bagaimana kita selaku umatnya bermusyawarah. Para sahabat merasakan keadilan dan kesejahteraan ketika bermusyawarah, bahkan orang non kafirpun merasakannya.

Maka pesar dari penulis, bermusyawarahlah dalam hal sekecil apapun.



Dikutip dari buku karya Ali Muhammad As-Sallaby, As-Syura Fariidhoh Islamiyah. 

Jumat, 22 Agustus 2014

Tanya Jawab Mahasiswa




Tanya :
Kenapa dhomir yang di gunakan lafdzul jalalah adalah huwa (هو)?

 Jawab :
Sebelum menjawab alasan kenapa dhomir yang digunakan adalah huwa saya akan sedikit menerangkan tentang Lafadz Allah (الله). 

Dalam kitab Ta’jilun Nada bisyarhi Qotrin Nada karangan Ust.Abdullah bin Sholih bin Abdullah Alfauzan dalam http://www.startimes.com/f.aspx?t=33759488
mengatakan:
Lafdzul Jalalah mempunyai dhomir huwa  yang merupakan dhomir ghoib  (kata ganti orang ketiga) .  Al (ال) dalam lafadz itu a’roful  ma’rifat  (paling khusus) sebab tidak ada yang lebih khusus dari lafadz-lafadz yang ma’rifat kecuali Allah SWT’. 

Membahas lafdzul Jalalah tidak akan lepas dari  pembahasan asal muasal kata Allah, terlepas dari perbedaan para Ulama apakah lafadz Allah itu dari bahasa Arab ataukah dari bahasa selainnya (‘ajam). Ada yang mengatakan dari bahasa Suryani atau Ibrani, yang mengatakan bahwa lafadz Allah asal katanya dari لاها  lalu alif terakhir dibuang menjadi lafadz لاه  , alif yang terbuang itu diganti dengan alif lam ta’rif (ma’rifat) menjadi الله , atau alif tersebut di letakan di awal menjadi اله  . Jumhur Ulama dalam hal ini mengatakan bahwa lafadz Allah adalah dari bahasa arab dan mengaku tidak pernah mendengar lafadz لاه yang mereka jadikan asal dari lafadz Allah itu.  Lihat Syihabuddin Assayyid Mahmud Afandi Al-Alusi Al-Baghdadi, Rouhul Ma’ani (1270 H) jilid 1. h. 38

Lalu ada pembahasan menarik juga yang saya baca terkait dengan lafdzul jalalah jamid (tidak berubah) atau musytaq ( dapat dirubah / punya asal kata). Ternyata Imam Kholil, Imam Sibawaih, para Ulama Ahli Ushul, Ahli Kalam, seperti Imam Syafi’I, Imam Khithobi, Imam Haramain, dan Imam Ar-Razi sepakat bahwa lafadz Allah adalah jamid bukan musytaq. Dengan beberapa alasan, diantaranya adalah; Musytaq berarti lafadz yang kulliy. (Dalam ilmu mantiq ada pembahasan tentang kully dan Juz’iy atau agar mudah difahami, kully  adalah suatu yang bisa dibagi sedangkan juz’iy adalah bagian dari sesuatu itu. Ini sudah masuk dalam daya nalar kita, jika ingin lebih mengetahui lebih jelasnya lihat Ubaidillah bin Fadhlullah Al-Khubaishym, At-Tadzhib Syarah Tahdzibil Mantiq karangan Sa’aduddin Mas’ud bin Umar At-Taftazani (Diktat Azhar, 2011). Dan lafadz  kully itu tidak mencegah adanya sekutu dalam lafadz itu, serta menunjukan makna banyak. Dan hal itu mustahil bagi Allah SWT yang mempunyai sifat esa, tunggal, satu dan tempat kembali dari semua permasalahan yang ada didunia. Kalau seandainya lafadz Allah itu terdapat sekutu atau yang lainnya maka hilanglah makna tauhid itu sendiri. Sedangkan disisi lain ada perbedaan pendapat dari beberapa Ulama yang menyatakan bahwa lafadz Allah itu mustaq dengan alasan; lafadz Allah adalah Isim ‘Alam (kata benda berupa nama) esensinya adalah suatu isyarat yang menunjukkan pada suatu dzat tertentu pada yang diisyaratkan. Isyarat adalah sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indera, sedangkan yang diisyaratkan itu boleh jadi dijangkau atau tidak terjangkau oleh panca indera, dan pemberian nama itu agar memudahkan mengingatnya. 

Musytaq lafadz Allah :
1.     Berasal dari kata لاه , يليه  yang semakna dengan lafadz احتجب , artinya ‘menutupi’, mengandung maksud bahwa Allah tertutup dari panca indera dan gambaran otak. Dan dapat juga semakna dengan ارتفع  yang artinya telah tinggi, mengandung maksud bahwa Allah tinggi derajatnya diatas semua alam.
2.     Berasal dari kata لاه , يلوه  yang semakna dengan lafadz اضطرب  , artinya ‘kebingungan’, mengandung maksud bahwa adanya kebingungan akal manusia dalam memahami dan mempelajari ilmu dzat, sifat dan pekerjaan Allah SWT.
3.     Berasal dari kata أله, يأله  yang semakna dengan lafadz اللجوء  , artinya ‘rumah sakit’, mengandung arti bahwa ketika manusia sakit mereka mengadukan sakitnya pada Allah SWT. Dan dapat juga semakna dengan سكن , artinya ‘ketenangan’, sebab hati akan merasa tenang jika dekat dengan-Nya. Atau semakna dengan lafadz اشتاق, artinya ‘merindu’, mengandung makna bahwa makhluk itu rindu agar bisa mengetahui-Nya (ma’rifat dalam tasawwuf) dan rendah diri di hadapan-Nya.
4.     Berasal dari kata و ل ه  semakna dengan lafadz طرب  ‘gembira’, mengandung makna bahwa seseorang akan sangat gembira ketika mengingat-Nya.
5.      Berasal dari kata أله , ألهة, ألوهة, ألوهية  semakna dengan lafadz عبد yang artinya ‘menghamba’, mengandung arti bahwa manusia menghamba pada-Nya. Abulqosim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar Al-Khowarizmi Az-Zamakhsari, Tafsir Al-Kassyaaf. (Beirut : Darul Kitab Al-Arobi, 2010)

Setelah itu, saya cari tentang mengapa lafadz Allah memakai dhomir huwa, ketika di cari, ketemunya tentang bab la allatii linafyil jinsi  bait ke 191-205 dalam Alfiyah ibnu Malik , disana banyak diterangkan bahwa dalam lafadz  Laa Ilaaha Illallah setelah lafadz laa  itu ada lafadz yang dibuang, yaitu laa - ma’buuda haqqun-  illallah. Sebab laa disini merupakan laa allatii linafyil jinsi  yang telah sama-sama kita ketahui. Lalu ternyata rahasia mengapa Allah sering memakai dhomir huwa saya dapatkan dalam ilmu Ma’ani  dalam bab At-Ta’riif bil ‘Alamiyah, disana dijelaskan bahwa ketika Allah menyebutkan namanya sendiri dalam Al-Quran mempunyai makna yang sangat dalam, yaitu menghadirkan nama Allah yang khusus didalam hati pendengarnya, menambah keyakinan akan kondisi Allah,  contoh dalam kalimat Qul Huwa Allahu Ahad , keesaan Allah menjadi melekat dalam hati pendengarnya dan lebih yakin dalam mentauhidkan-Nya. Lalu Allah juga sering berfirman dalam Al-Qur’an dengan nilai sastra yang tinggi, salah satunya dengan iltifat (berpindah dari kata ganti pertama, kedua dan ketiga saling bergantian hingga 6 gambaran) yang mempunyali value tersendiri dalam sastra Al-Qur’an, mukjizat terbesar era ini, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Qozwini dalam kitab Al-Idhoh yang telah di tahqiq oleh Syekh Abdul Muta’al As-Sho’idiy dengan nama  Bughyatul Idhoh, ia berkata ; Ketahuilah bahwa iltifat termasuk dari kalam yang indah yang mana keindahannya itu dijelaskan oleh Syekh Zamakhsyari bahwa suatu kalam apabila terjadi perpindahan dari satu gaya bahasa ke bahasa lain, maka itu menjadi daya tarik tersendiri untuk membuat pendengarnya  tambah giat, hatinya berevolusi bangkit, dan supaya tidak membosankan. Iltifat suatu gaya bahasa yang gurih bagi penikmatnya, dan selalu tepat disetiap kondisi kejiwaan manusia sehingga membuat pendengarnya tercengang dan senantiasa siap siaga untuk mendengar kalimat selanjutnya, ini hanya secara umum saja’. Ibrahim Abdul Hamid At-Talab dan ‘Abdussattar Husain Zamuth, Ilmul Ma’ani (Cairo: Diktat Azhar Kuliah bahasa Arab, tt) 

Lalu ada juga keterangan yang tak kalah menarik, tentunya  tidak paradok juga bila saya sebutkan dalam jawaban ini, meskipun ini hanya komentar di internet saya rasa bisa sedikit membantu,  bisa dilihat di http://hajrcom.com/hajrvb/showthread.php?t=403023472.  

Koment dari yang bernama Zaid As-Syahid, mengatakan bahwasanya Dzat Tuhan Maha Suci itu tidak kelihatan oleh makhluk, maka dari itu Allah sering menyebut dirinya dengan bentuk ghaib (kata ganti ketiga), sehingga tidak ada suatu fikiran ataupun terkaan yang mampu mengetahui hakikat Dzat-Nya Yang Maha Suci. Asal kalimat dhomir Huwa adalah Hu (ه)  saja, artinya secara mutlak gaib, lalu lengkaplah menjadi Huwa yakni Dzat Ketuhanan diatas kesempurnaan dan diatas tidak terhingga batas ruang dan waktu. Ini yang dikenal oleh para Ulama dengan  Ghoibul Ghuyub (tidak ada yang lebih gaib dari-Nya). Syekh Sandi telah mendalami perihal ini dalam concern beliau mensyarahi kitab ­Al-Khutbatul Ula lil Imam Ali Karramallahu Wajhah, satu ucapan sayyidina Ali RA yang sangat dalam, yaitu’Awwaluddin Ma’rifatu-Hu , paling utama dalam agama adalah berusaha untuk mengetahui Dzat yang mutlaq gaib-Nya. Dan aku yakin bahwa orang yang ahli ma’rifat selalu memakai metode ini. 

Koment kedua dari yang  bernama Elia mengatakan bahwa Imam Ibnu Asyur dari Asya’iroh  yang terkenal dengan Ahlussunnah wal Jama’ah menafsirkan lafadz Huwa dengan nama dari nama-nama Allah SAW, itu biasanya dipakai oleh thoriqoh shufi, salah satunya keterangan Imam Fakhruddin Ar-Rozi dalam syarah Asma’ul Husna  yang dinukil oleh Ibnu Arafah , yaitu dalam Mafatihul Ghoib. Dalam membahas kalimat Qul Huwa Allahu Ahad, terdapat tiga nama sebagai peringatan untuk tiga tingkatan. Pertama, tingkatan orang –orang terdahulu, yang sangat dekat dan selalu melihat segala sesuatu dengan hakikat,mereka tidak melihat adanya sesuatu selain Allah, selain-Nya mereka anggap tiada, dan lafadz Huwa  saja sudah cukup bagi mereka untuk mengimani keesaan Allah, sebab lafadz Huwa adalah isyarat mutlaq, jadi secara logika ketika yang diisyaratkan itu (Allah) sudah tertentu, maka kepastian itu akan mutlaq adanya. Tingkatan kedua adalah golongan kanan menengah, mereka bersaksi bahwa kebenaran itu ada (maksudnya adanya Allah) dan segala sesuatu yang mungkin juga ada (makhluq), mereka tidak cukup hanya dikasih lafadz Huwa, perlu ditambah lafadz  Allah agar mereka lebih yakin. Jadi peringatan bagi mereka Huwallahu . Adapun tingkatan terakhir yaitu golongan kiri yang masih ada fikiran bahwa tuhan itu banyak, maka harus diberi peringatan lebih keras dari pada sebelumnya , yaitu Huwa Allahu Ahad. Sampai mereka yakin akan keesaan Allah SWT. 

Dan koment-koment lainnya masih banyak, tapi saya memilih dua saja yang saya rasa berbobot untuk di jadikan jawaban disini. 

Kesimpulan yang bisa saya ambil, kenapa lafad Allah memakai Huwa, sebab dalam lafadz itu terdapat rahasia yang sangat luar biasa dari Allah sendiri, namun kita sebagai makhluk tidak akan mampu mengetahui semua rahasia Allah, apa kehendak Allah yang sejatinya, sebab manusia hanya bisa berijtihad, dan itu tidak dilarang olehnya bahkan itu adalah anugerah yang perlu kita syukuri. Maka dalam ilmu tasawwuf sering kita mendengar ; Man ‘Arafa Nafsahu Faqod ‘Arafa Rabbah , siapa yang mengenal jati dirinya sediri, maka sungguh dia telah mengenal Tuhan-Nya.
Terimakasih atas perhatiannya