Tanya
:
Kenapa dhomir yang di gunakan lafdzul jalalah adalah huwa
(هو)?
Jawab :
Sebelum menjawab alasan kenapa dhomir yang digunakan adalah huwa
saya akan sedikit menerangkan tentang Lafadz Allah (الله).
mengatakan:
‘Lafdzul Jalalah mempunyai dhomir huwa
yang merupakan dhomir ghoib (kata ganti orang ketiga) . Al (ال) dalam lafadz itu a’roful ma’rifat
(paling khusus) sebab tidak ada yang lebih khusus dari lafadz-lafadz
yang ma’rifat kecuali Allah SWT’.
Membahas lafdzul Jalalah tidak akan lepas dari pembahasan asal muasal kata Allah, terlepas
dari perbedaan para Ulama apakah lafadz
Allah
itu dari bahasa Arab ataukah dari bahasa selainnya (‘ajam). Ada yang
mengatakan dari bahasa Suryani atau Ibrani, yang mengatakan bahwa lafadz Allah asal
katanya dari لاها lalu alif terakhir dibuang menjadi lafadz لاه , alif yang terbuang itu
diganti dengan alif lam ta’rif (ma’rifat)
menjadi الله , atau alif tersebut di letakan di awal menjadi اله . Jumhur Ulama dalam hal
ini mengatakan bahwa lafadz Allah adalah dari bahasa arab
dan mengaku tidak pernah mendengar lafadz لاه yang mereka jadikan asal dari lafadz Allah itu. Lihat Syihabuddin Assayyid
Mahmud Afandi Al-Alusi Al-Baghdadi, Rouhul Ma’ani (1270 H) jilid 1. h. 38
Lalu ada pembahasan menarik juga yang saya baca terkait dengan lafdzul
jalalah jamid (tidak
berubah) atau musytaq ( dapat dirubah / punya asal kata). Ternyata
Imam Kholil, Imam Sibawaih, para Ulama Ahli Ushul, Ahli Kalam, seperti Imam
Syafi’I, Imam Khithobi, Imam Haramain, dan Imam Ar-Razi sepakat bahwa lafadz Allah
adalah jamid bukan musytaq. Dengan
beberapa alasan, diantaranya adalah; Musytaq berarti lafadz
yang kulliy. (Dalam ilmu mantiq ada
pembahasan tentang kully dan Juz’iy atau agar mudah difahami, kully adalah suatu yang bisa dibagi sedangkan
juz’iy adalah bagian dari sesuatu itu. Ini sudah masuk dalam daya nalar kita,
jika ingin lebih mengetahui lebih jelasnya lihat Ubaidillah bin Fadhlullah
Al-Khubaishym, At-Tadzhib Syarah Tahdzibil Mantiq karangan Sa’aduddin Mas’ud
bin Umar At-Taftazani (Diktat Azhar, 2011). Dan lafadz kully
itu tidak mencegah adanya sekutu dalam lafadz itu, serta menunjukan makna banyak.
Dan hal itu mustahil bagi Allah SWT yang mempunyai sifat esa, tunggal, satu dan
tempat kembali dari semua permasalahan yang ada didunia. Kalau seandainya
lafadz Allah itu terdapat sekutu atau yang lainnya maka hilanglah makna tauhid
itu sendiri. Sedangkan disisi lain ada perbedaan pendapat dari beberapa Ulama
yang menyatakan bahwa lafadz Allah itu mustaq dengan alasan;
lafadz Allah adalah Isim ‘Alam (kata benda berupa nama) esensinya adalah
suatu isyarat yang menunjukkan pada suatu dzat tertentu pada yang diisyaratkan.
Isyarat adalah sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indera, sedangkan yang
diisyaratkan itu boleh jadi dijangkau atau tidak terjangkau oleh panca indera,
dan pemberian nama itu agar memudahkan mengingatnya.
Musytaq lafadz Allah :
1. Berasal dari kata لاه , يليه yang semakna dengan lafadz احتجب , artinya ‘menutupi’, mengandung maksud bahwa Allah tertutup
dari panca indera dan gambaran otak. Dan dapat juga semakna dengan ارتفع yang artinya telah
tinggi, mengandung maksud bahwa Allah tinggi derajatnya diatas semua alam.
2. Berasal dari kata لاه , يلوه yang semakna dengan lafadz اضطرب , artinya ‘kebingungan’,
mengandung maksud bahwa adanya kebingungan akal manusia dalam memahami dan
mempelajari ilmu dzat, sifat dan pekerjaan Allah SWT.
3. Berasal dari kata أله, يأله yang semakna dengan lafadz اللجوء , artinya ‘rumah sakit’,
mengandung arti bahwa ketika manusia sakit mereka mengadukan sakitnya pada
Allah SWT. Dan dapat juga semakna dengan سكن , artinya ‘ketenangan’, sebab hati akan merasa tenang jika dekat
dengan-Nya. Atau semakna dengan lafadz اشتاق, artinya ‘merindu’, mengandung makna bahwa makhluk itu rindu
agar bisa mengetahui-Nya (ma’rifat dalam tasawwuf) dan rendah diri di
hadapan-Nya.
4. Berasal dari kata و ل ه semakna dengan lafadz طرب ‘gembira’, mengandung
makna bahwa seseorang akan sangat gembira ketika mengingat-Nya.
5. Berasal dari kata أله , ألهة, ألوهة, ألوهية semakna dengan lafadz عبد yang artinya ‘menghamba’, mengandung arti bahwa manusia
menghamba pada-Nya. Abulqosim
Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar Al-Khowarizmi Az-Zamakhsari, Tafsir
Al-Kassyaaf. (Beirut : Darul Kitab Al-Arobi, 2010)
Setelah itu, saya cari tentang
mengapa lafadz Allah memakai dhomir huwa, ketika di cari, ketemunya
tentang bab la allatii
linafyil jinsi bait ke 191-205 dalam Alfiyah ibnu Malik ,
disana banyak diterangkan bahwa dalam lafadz Laa Ilaaha Illallah setelah lafadz laa itu ada lafadz yang dibuang, yaitu laa - ma’buuda
haqqun- illallah. Sebab laa disini
merupakan laa allatii linafyil jinsi yang telah sama-sama kita ketahui. Lalu
ternyata rahasia mengapa Allah sering memakai dhomir huwa saya
dapatkan dalam ilmu Ma’ani dalam
bab At-Ta’riif bil ‘Alamiyah, disana dijelaskan bahwa ketika Allah
menyebutkan namanya sendiri dalam Al-Quran mempunyai makna yang sangat dalam,
yaitu menghadirkan nama Allah yang khusus didalam hati pendengarnya, menambah
keyakinan akan kondisi Allah, contoh
dalam kalimat Qul Huwa Allahu Ahad , keesaan Allah menjadi
melekat dalam hati pendengarnya dan lebih yakin dalam mentauhidkan-Nya. Lalu
Allah juga sering berfirman dalam Al-Qur’an dengan nilai sastra yang tinggi,
salah satunya dengan iltifat (berpindah dari kata ganti
pertama, kedua dan ketiga saling bergantian hingga 6 gambaran) yang mempunyali
value tersendiri dalam sastra Al-Qur’an, mukjizat terbesar era ini, yaitu
seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Qozwini dalam kitab Al-Idhoh yang
telah di tahqiq oleh Syekh Abdul Muta’al As-Sho’idiy dengan nama Bughyatul Idhoh, ia berkata ; “Ketahuilah
bahwa iltifat termasuk dari kalam yang indah yang mana keindahannya itu
dijelaskan oleh Syekh Zamakhsyari bahwa suatu kalam apabila terjadi perpindahan
dari satu gaya bahasa ke bahasa lain, maka itu menjadi daya tarik tersendiri
untuk membuat pendengarnya tambah giat,
hatinya berevolusi bangkit, dan supaya tidak membosankan. Iltifat suatu gaya
bahasa yang gurih bagi penikmatnya, dan selalu tepat disetiap kondisi kejiwaan
manusia sehingga membuat pendengarnya tercengang dan senantiasa siap siaga
untuk mendengar kalimat selanjutnya, ini hanya secara umum saja’. Ibrahim Abdul Hamid At-Talab dan ‘Abdussattar Husain
Zamuth, Ilmul Ma’ani (Cairo: Diktat Azhar Kuliah bahasa Arab, tt)
Lalu ada juga
keterangan yang tak kalah menarik, tentunya tidak paradok juga bila saya sebutkan dalam jawaban
ini, meskipun ini hanya komentar di internet saya rasa bisa sedikit
membantu, bisa dilihat di http://hajrcom.com/hajrvb/showthread.php?t=403023472.
Koment dari yang
bernama Zaid As-Syahid, mengatakan bahwasanya Dzat Tuhan Maha Suci itu tidak
kelihatan oleh makhluk, maka dari itu Allah sering menyebut dirinya dengan
bentuk ghaib (kata ganti ketiga), sehingga tidak ada suatu fikiran
ataupun terkaan yang mampu mengetahui hakikat Dzat-Nya Yang Maha Suci. Asal
kalimat dhomir Huwa adalah Hu (ه) saja,
artinya secara mutlak gaib, lalu lengkaplah menjadi Huwa yakni Dzat
Ketuhanan diatas kesempurnaan dan diatas tidak terhingga batas ruang dan waktu.
Ini yang dikenal oleh para Ulama dengan Ghoibul Ghuyub (tidak ada yang lebih gaib
dari-Nya). Syekh Sandi telah mendalami perihal ini dalam concern beliau
mensyarahi kitab Al-Khutbatul Ula lil Imam Ali Karramallahu Wajhah,
satu ucapan sayyidina Ali RA yang sangat dalam, yaitu’Awwaluddin
Ma’rifatu-Hu’ , paling utama dalam agama adalah berusaha untuk
mengetahui Dzat yang mutlaq gaib-Nya. Dan aku yakin bahwa orang yang ahli
ma’rifat selalu memakai metode ini.
Koment kedua
dari yang bernama Elia mengatakan bahwa
Imam Ibnu Asyur dari Asya’iroh yang
terkenal dengan Ahlussunnah wal Jama’ah menafsirkan lafadz Huwa dengan
nama dari nama-nama Allah SAW, itu biasanya dipakai oleh thoriqoh shufi, salah
satunya keterangan Imam Fakhruddin Ar-Rozi dalam syarah Asma’ul Husna yang dinukil oleh Ibnu Arafah , yaitu dalam Mafatihul
Ghoib. Dalam membahas kalimat Qul Huwa Allahu Ahad,
terdapat tiga nama sebagai peringatan untuk tiga tingkatan. Pertama, tingkatan
orang –orang terdahulu, yang sangat dekat dan selalu melihat segala sesuatu
dengan hakikat,mereka tidak melihat adanya sesuatu selain Allah, selain-Nya
mereka anggap tiada, dan lafadz Huwa saja sudah cukup bagi mereka untuk
mengimani keesaan Allah, sebab lafadz Huwa adalah isyarat mutlaq, jadi
secara logika ketika yang diisyaratkan itu (Allah) sudah tertentu, maka
kepastian itu akan mutlaq adanya. Tingkatan kedua adalah golongan kanan
menengah, mereka bersaksi bahwa kebenaran itu ada (maksudnya adanya Allah) dan
segala sesuatu yang mungkin juga ada (makhluq), mereka tidak cukup hanya
dikasih lafadz Huwa, perlu ditambah lafadz Allah agar mereka lebih yakin. Jadi
peringatan bagi mereka Huwallahu . Adapun tingkatan
terakhir yaitu golongan kiri yang masih ada fikiran bahwa tuhan itu banyak,
maka harus diberi peringatan lebih keras dari pada sebelumnya , yaitu Huwa
Allahu Ahad. Sampai mereka yakin akan keesaan Allah SWT.
Dan koment-koment lainnya masih banyak, tapi saya memilih dua saja yang
saya rasa berbobot untuk di jadikan jawaban disini.
Kesimpulan yang bisa saya ambil, kenapa lafad Allah memakai Huwa, sebab
dalam lafadz itu terdapat rahasia yang sangat luar biasa dari Allah
sendiri, namun kita sebagai makhluk tidak akan mampu mengetahui semua rahasia
Allah, apa kehendak Allah yang sejatinya, sebab manusia hanya bisa berijtihad,
dan itu tidak dilarang olehnya bahkan itu adalah anugerah yang perlu kita
syukuri. Maka dalam ilmu tasawwuf sering kita mendengar ; Man ‘Arafa
Nafsahu Faqod ‘Arafa Rabbah , siapa yang mengenal jati dirinya sediri,
maka sungguh dia telah mengenal Tuhan-Nya.
Terimakasih atas
perhatiannya